Kamis, 19 Agustus 2010

sebuah titik yg kusebut NOL (sekuel "Aku dan Sepatu Kuningku")

Beberapa kata dr sahabatkku yg membuat ini semua terjadi "Kalo kamu suka bgt sm sepatunya, simpan aja buat jadi kenangan tp km harus cari sepatu baru. Coba buka hati buat sepatu yg bukan berwarna kuning". 
Dan dari sinilah sebuah titk yg kusebut nol itu kupijak.....

Pernah tau sebuah analogi tentang gunung? Ya, gunung itu tidak akan lari jika dikejar tp untuk meluluhkannnya seseorang harus berusaha untuk mendakinya sampai ke puncak. Gunung itu tak pernah kupijak, maksudnya tak pernah benar-benar kupijak. Rasanya seperti mimpi sampai akhirnya aku dapat berdiri diatas puncak gunung itu, tp aku tau bahwa itu hanyalah baru setengah dari perjalananku. Karena aku hanya meluluhkan sebagian dari gunung itu dan sebagian lagi harus ku turuni dari puncak gunung itu. Posisiku di atas puncak gunung itu memang hanya sesaat karena aku harus menuruni kembali gunung itu untuk dapat meluluhkannya, seutuhnya.

Tidak pernah tau apa rasanya berada dibawah kaki gunung itu lagi. Posisi yg sama seperti saat aku mulai mendaki gunung itu, namun perasaan yg sama sekali berbeda dgn kala itu. Gunung itu sudah aku hafal jalurnya, semua pepohonannya, lumut yg tumbuh mengarah ke barat, aroma kayu yg lapuk, cahaya matahari yg masuk dari sela-sela dedaunan yg berlubang serta tanah basah yg kutinggalkan jejak sepatuku. Mungkin jejak itu akan dihempas oleh hujan dan mungkin juga aroma tubuhku akan hilang di antara dedaunan yg tertiup angin. Tapi setidaknya butuh waktu yg lama agar hujan dapat meratakan kembali tanah yg kupijak itu, dan mungkin angin badai pun butuh waktu yg cukup lama untuk membuat aroma tubuhku sirna karena aku telah menjelajahi gunung itu seutuhnya. Dari titik nol sampai ke titik nol lagi. Dari pertemuan bulan purnama dengan matahari sampai dengan pada pertemuan bulan purnama dengan matahari yang berikutnya.

Sayangnya, musim hujan telah menyapaku sedari kemarin sore. Aku tau itulah saatnya, jejak sepatuku akan sirna perlahan-lahan dan aku tidak dapat kembali ke puncak gunung krn jejakku telah hilang. Aku tidak kecewa , krn aku masih meninggalkan banyaak aroma tubuhku di antara dedaunan. Maka aku tidak meratapi jejakku yg telah hilang krn masih ada aroma lain yg kutinggalkan, namun tibalah waktunya Gemuruh menyapaku "Hey , angin badai akan datang. Ia akan menyapu semua aroma tubuhmu di pegunungan ini".

Baiklah, tidak ada lagi jejak diri ku yg tersisa di gunung yang telah kucapai puncaknya itu. Aku tidak hentinya bertanya mengapa semua ini terjadi terlalu cepat? Mengapa aku terlalu mudah terpeleset ke kaki gunung? Jawabannya sederhana, karena aku tak pernah sedetik pun berpikir bahwa aku tidak dapat lagi mencapai puncak gunung itu untuk kedua kalinya. Setidaknya saat ini aku masih ingat jalan menuju ke puncak itu, tapi untuk apa lagi? sebentar lagi badai akan datang. Untuk apa lagi aku raih puncak itu, aku tau saat aku berada di atas sana, aku akan merasakan bahagia yg sesaat dan badai akan menghempaskanku lagi jatuh ke kaki gunung. Jauh lebih sakit daripada aku terpeleset, jadi aku rasa tidak akan lagi kupijak puncak gunung itu.

Apabila semua orang dapat melihat apa yg ku lihat di atas sana. Sebuah keindahan yg hanya dapat dillukiskan dengan sebuah senyuman. Diatas sana aku hanya tersenyum, karena aku tidak ingin berkedip. Tak ingin melewatkan pancaran sinar matahari yg terbias oleh jari jemariku. Aku hanya tersenyum, karena aku tidak ingin berbicara sepatah katapun. Tak ingin kehilangan derih suara angin yang menyapa telingaku dengan lembut. Aku hanya tersenyum, karena aku ingin membiarkan jantungku berdegup lirih. Tak ingin kehilangan sepercik gairah yg merasuk sampai ke nadi ku. Aku hanya tersenyum, karena hanya senyuman itu yg menyimpan ribuan kata yg tak sanggup aku ungkapkan. Senyuman itu yg dapat menahan segala asa, senyuman itu yg bagaikan melambaikan kata "Aku baik-baik saja".

Ya, sebuah gunung yang puncaknya sangat indah. Pasti semua orang memiliki gunung mereka sendiri untuk didaki. Tapi bagiku, inilah gunungku. Setiap titik dari gunung ini telah ku simpan dalam kotak kenangan ku, setiap aroma dedaunan yg ku hirup akan ku simpan dalam paru-paruku karena tak mungkin aku mencium bau aroma dedaunan yg sama di guung lain. Dan gunung itu ku beri nama gunung pelangi. Karena gunung itu tidak berwarna, namun mampu membiaskan warrna-warna indah dari setiap titik. Ia membiaskan warna matahari yg putih itu menjadi jingga saat bersentuhan dengan jari jemariku. Ia membiaskan warna air sungai yg polos, menjadi berkilauan. Dan gunung itu seperti pelangi. Pelangi yang berbentuk seperti sebuah wajah yg muram, tapi ia tetap memancarkan warna-warna indahnya, ia bersembunyi dibalik hujan dan terbiaskan oleh satu titik air hujan.

Aku terbangun dari pemberhentianku sejenak, aku kembali mengingat bahwa hujan akan datang dan disusul oleh badai. Mungkin itu saatnya aku berhenti memijakkan kakiku disana. Mungkin itu saatnya aku pulang dan kembali kepada kesendiranku. Aku tersenyum karena aku tau gunung itu tak pernah benar2 sendiri melewati hujan yg menindihnya dengan keras ataupun angin badai yg mencoba meniup tempatnya berpijak. Karena setelah semua itu terjadi, selalu ada pelangi dibalik gunung yg akan setia menemani. Mungkin gunung tak melihat pelangi itu, krn pelangi selalu berwajah muram. Namun pelangi selalu memiliki warna-warna indah itu yg hanya ia berikan kepada gunung. Sedangkan aku? Aku hanya memiliki pengorbanan disaat aku mendakinya. Tapi aku hanyalah aku, aku terlalu kecil untuk berbanding dengan pelangi.

Saat ini aku telah berada tepi sungai yg berada jauh di kaki gunung. Aku melihat bagaimana hujan dan angin badai menghantam gunung dan aku juga melihat munculnya pelangi di balik hujan, pelangi yg seakan ingin sekali merubah wajahnya agar tersenyum, tapi pelangi itu tetap indah dengan apa yg ia miliki. Dan memang pelangi itu tercipta untuk gunung. Aku tersenyum karena pelangi itu berada di atas puncak gunung, bahkan lebih tinggi daripada apa yg pernah ku pijak. Melihatnya dari kejauhan, pelangi dan gunung memang ditakdirkan untuk selalu bersama. Gunung akan selalu berdiri menanti sang pelangi. Mungkin hati ku bergejolak, mungkin juga bayang-bayang amarah meliputi ku sampai ke nadi ku.

Dan saat itu aku berada di titik nol.

Aku benamkan tubuhku ke dalam air sungai, karena aku tidak ingin gunung melihatku menangis. Aku berteriak di dalam air, karena aku tidak ingin gunung mendengar setiap jeritanku. Dan aku menenggelamkan tubuhku jauh ke dalam air, karena aku tidak sanggup mengucapkan selamat tinggal pada gunung.
Lalu tubuhku ikut bersama arus air sungai yg membawaku ke daratan, jauh dan makin jauh dari gunung. Bahkan tidak ada bekas jejak ku yg bisa dilihat oleh gunung.

Aku mendongak ke luar sungai, dan mengeluarkan tubuhku yg basah kuyup. Daratan menyambutku dengan riang. Daratan juga mengeringkan pakaianku. Inilah sebuah titik baru yg kusebut nol.


Gunung itu masih berada disana, walaupun ia tak bisa lagi melihatku. Namun aku masih bisa melihat puncaknya dari kejauhan. Dan aku selalu tau bahwa gunung itu baik-baik saja. 

Pesan Untuk Pelangi : Jangan berhenti memberikan warna-warna indahmu untuk gunung. Karena hanya kaulah yg dapat melakukan itu. Dan bukan aku yg hanya seorang anak manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar