Minggu, 24 April 2011

my favorite cockroach catcher ♥

sebuah tulisan tentang hijau. 
dimulai sejak digital media menjadi sebuah tema acara di tengah kota.

---

Anggap saja kali ini memang mengantuk, bukan karena larut malam atau dingin tapi karena waktu berjalan sangat lama... mungkin keadaan yang sebenarnya adalah ssssaaaaaaaannnggggggaaaaaaatttt llll..aaaaaaa......mmmm.......aaaaaaaaaaaa.

Riuh rendah yang terdengar seperti kelakar dan tawa itu bersembunyi dibalik pintu. Pertandingan bolakah? atau suara gemuruh? entahlah, bisa jadi dua-duanya karenaa diluar sana awan sedang tersedak mungkin.
Sejujurnya gemuruh itu sangat membuat semuanya tidak nyaman, dan ya memang benar gemuruh adalah salah satu yang aku takutkan. Hal kedua dalam daftar menakutkan ku setelah makhluk (yang entah kenapa Tuhan menciptakannya) bernama KECOA. Versi bahasa inggrisnya terdengar lebih keren nampaknya, baiklah sebut saja mr. cockroach. Kita lupakan dulu sejenak si mr. cockroach, kembali ke malam yang terasa sangat larut itu.

Kemudian pintu dimana dibaliknya terdengar suara riuh rendah orang-orang, terbuka juga. Tidak sengaja dibuka untukku, tapi sayup-sayup terlihat banyak lalu-lalang disana. Seketika ada pantulan cahaya yang berasal dari sebuah kacamata. Lucunya, bagaimana bisa cahaya itu terpantul? mungkin karena dibalik pintu itu sangat gelap. Baiklah, saatnya masuk. Ternyata pantulan cahaya itu berasal dari sebuah digital media yang banyak terlihat di billboard-billboard jalanan. 2 kata yang ada di pikiran ku : WOWWW COOOOOL!

Dan ya, berdirilah disana entah siapa dia, dengan kacamata yang memantulkan sinar dan kedua tangan yang penuh, karena di tangan kanannya memegang kamera yang berlabel nikon dan di tangan kirinya terdapat walkie-talkie beserta kertas-kertas yang dilipat seadanya. kembalilah muncul pertanyaan dalam pikiranku yang kira-kira berbunyi "hushim?" (Kalo bingung, coba aja diucapin "hushim"). Akhirnya kuputuskan untuk keluar lagi dari pintu itu dan kembali menumpahkan kepala ku di sofa yang sedari tadi telah panas oleh pantatku.

Akhirnya terlihatlah jarum pendek di jam tangan milik orang yang duduk di sampingku yang menujuk ke angka 12 dan pantatku makin lengket di sofa itu. Mulalilah berkeluaran orang-orang dari pintu tadi, diantara orang-orang itu ternyata si kacamata dengan kedua tangan yang masih penuh memegang kamera dan walkie-talkie itu keluar juga. Berisik sekali mereka, seperti membicarakan tentang bola atau basket mungkin hmmm belum tentu juga sih sebenarnya.

Selang beberapa menit, bubarlah kerumunan itu. mulailah lalu-lalang beberapa sosok orang-orang di depanku. Tiba-tiba terlihat lagi si sosok kacamata yang sekarang hanya tangan kanannya yang memegang kamera dan lagi-lagi tampak belakang saja. Oke, tanpa sengaja bentuk kacamata si entah siapa dia itu terekam di ingatanku, bersamaan dengan sepasang sepatu converse yang lusuh yang dijejalkan ke kakinya.

6 hari berikutnya. Lokasi: di sebuah rumah makan,  tempat belum diketahui.

Semenjak enam hari lalu, pantatku mulai terasa lebih panas dari oven. Aku pun tersadar dari tidurku yang membawaku ke tempat entah berantah. Mungkin aku terbangun karena (tentunya) jok mobil yang kududuki sangat terasa panas. Ternyata benar tebakanku, mungkin kalau suhu pantatku diukur bisa alih fungsi jadi microwave. Di mobil itu, teman-temanku yang tingkat kewarasannya masih kupertanyakan hingga saat ini membawa kami yang berjumlah empat kepala ke sebuah daerah yang bernama Cugur (sebenarnya diantara kami sangat yakin daerah itu bernama Cugur karena sebuah plang di sebuah pondok yang diatasnya bertuliskan "TJOEGOER". Perkiraanku pasti pemilik pondok ini umurnya hampir mencapai 9 dasawarsa dan memelihara jenggot sepanjang 10 centimeter. Kenapa begitu? karena tampak luar pondok itu sangat sangat lawas, jadi imajinasiku pun melayang-layang sosok si pemilik pondok yang berbanding 11:12 dengan guru silatnya Chow Yun Fat.

Sebenarnya diantara kami, tidak ada yang berani masuk lebih dulu sampai akhirnya 25 menit lebih mobil kami terparkir diluar pondok, dan perut kami semua mulai tidak menerima lawakan-lawakan yang sudah dimulai sejak 25 menit lalu. Mulailah perut-perut itu bersenandung dan tidak ada jalan lain selain memasuki pondok itu.

"Ckiiiiittttt"
Tiba-tiba sebuah mobil berplat B 521 DLF berhenti 2 meter dari tempat kami parkir. Keluarlah seseorang dengan jaket abu-abu berhoodie, rambutnya hampir menutupi wajahnya jadi yang terlihat adalah sosok itu mengenakan kacamata. Nampaknya si pria berhoodie itu hanya menempuh perjalanan sendirian dan saat ini sedang terburu-buru. Sepertinya terburu-buru buang air, lalu si hoodie abu-abu itu pun masuk ke dalam pondok.

Dengan masuknya si hoodie abu-abu itu, hilanglah ketakutan kami. karena ternyata pondok itu tidak seseram tampilan luarnya. Akhirnya kami pun masuk ke pondok itu untuk memesan 4 mangkok indomie rebus+cabe rawit, 2 kopi, 1 teh hangat,1 air putih, 2 kerupuk putih dan 5 kacang goreng. Benar-benar menu makanan yang cocok untuk daerah pegunungan, bukan begitu?

Duduklah kami ber-empat dikursi kayu yang sudah sedikit lapuk. sejujurnya hal pertama yang aku takutkan, semenjak masuk ke dalam pondok ini adalah bau kecoa. Kecoa masih menjadi jawara pertama dari daftar hal-hal yang manakutkan untukku. Mau tak mau, kaki ku tetap memasuki pintu yang terbuat dari kayu tersebut. Mungkin bau kecoa itu berasal dari kayu yang sudah lapuk, pikirku. karena semua meja, kursi, dan peralatan-peralatan dapur juga terbuat dari kayu.

Nyatanya, si pelayanan yang melayani kami bukanlah nenek-nenek berumur 85 tahun seperti yang kami bayangkan di mobil atau gadis berambut panjang dengan wajah pucat. Pelayan itu pun menyapa kami "didieu mangsa katukang kuring nangtung…mangga atuh mangga akang-akang kasep, neng geulis, mangga.."

Gawat! diantara kami tidak ada satu pun yang mengerti bahasa sunda, yang bisa ku terjemahkan dengan baik hanyalah "ayo silahkan mas-mas ganteng dan mbak cantik, silahkan", selainnya bablas cuma bisa kami balas dengan cengiran dan anggukan.

Keluarlah si hoodie abu-abu dari pintu belakag pondok itu, benar bukan perkiraanku si hoodie abu-abu pasti uang air. Dia pun melewati meja kami dengan wajah yang masih terutup hoodie kemudian ia duduk didekat pintu masuk sekedar untuk minum kopi dan bersantai sejenak sepertinya. Kemudian aku memperhatikannya mengeluarkan sebuah bungkus rokok marlboro merah. Dilepaskannya hoodie itu dari kepalanya dan ia menyalakan rokoknya.

Aku melihatnya. Ya, aku melihat kacamata itu. Kenapa serupa dengan kacamata yang kulihat enam hari yang lalu? kacamata milik si pria berkamera dan ber-walkie-talkie. Apakah mungkin si hoodie abu-abu ini adalah pria yang kujuluki "hushim"? Lamunanku pun buyar karena indomie rebus yang mengepul dihadapanku sudah disajikan pelayan sunda itu. Setelah itu, aku berniat ke mobil untuk mengambil ipod ku yang tertinggal.

"JENGJENGG!!!" Di dekat mobil, kira-kira jaraknya hanya 15 cm dari kakiku, banyak kerumunan kecoa. Aku pun terdiam hanya terdiam dan kemudian memcah keheningan daengan berteriak "KECOAAAAA" dengan kaki yang masih berada di posisi yang sama hanya 15 cm dari kerumunan kecoa itu dan ekspresi yang sangar-sangat aneh, kira-kira seperti panik+takut+datar+ekspresif+terpaku+blank. Si hoodie abu-abu dengan sigap berdiri dihadapanku dan menginjak kerumunan kecoa itu. Aku hanya berdiri takut di belakang hoodie si pria ini dengan badannya yang masih tetap membelakangiku. Seketika badannya pun berbalik dan ya aku melihat kacamata itu lagi. Kali ini perkiraanku tak mungkin salah. Pasti dialah yang kujuluki "hushim" itu. Dia pun tersenyum dan aku melihat giginya yang berbehel berkata,

"Bereskann..??" Dilanjutkan dengan cengirannya yang lebar. Aku pun masih terdiam dan hanya mengangguk. "Phobia sama kecoa ya?" kemudian ia menyodorkan tangannya padaku, "Gw Elliott, panggil aja El"

 "Valerie. Panggil aja Val", Kemudian aku menyambut tangannya yang sedikit kasar, akupun menduga mungkin dia seorang pemain drum atau atlet. karena tangannya seperti kapalan, karena sering menggenggam benda-benda keras. Kemudian ia mematikan rokoknya, memakai hoodienya kembali dan tersenyum padaku.

"Well, nice to meet you Val", kemudian ia masuk ke dalam mobilnya dan pergi
Kata-kata terakhirnya itulah yang membuatku teringat. Semua orang selalu mengejekku karena phobia ku terhadap kecoa yang sangat akut. Termasuk, sahabat-sahabatku, bahkan seringkali mereka mengerjaiku agar aku lebih berani melawan phobia itu. Anehnya, untuk pertama kalinya aku merasa aman. He took my fear away. Dan ekspresi wajahku pun berubah, tersenyum.

Tak sabar aku ingin mencari tahu tentang si pria bernama Elliott itu. Mulailah aku mencarinya di google dan sayangnya ada 8975 orang yang bernama Elliott dan berusia 22-30 tahun. Ku ulang lagi pencarianku dengan berlokasi di Indonesia. Pencariannya berjumlah 327 orang. Tanpa sadar, sepanjang perjalanan pulang ke jakarta aku tetap memandangi browser di HP ku. 3 jam lebih aku melihat satu per satu nama-nama itu, namun dari yang ku lihat mereka bukanlah Elliott-ku.  Elliott-ku? sejak kapan aku mulai membubuhi nama Elliott dengan imbuhan kepemilikan orang pertama tunggal? Ya, sejak dia menjadi penangkap kecoaku (Aneh sekali ya, kalo ditulis dengan bahasa indonesia), baiklah aku ulang. Ya, sejak dia menjadi cockroach catcher-ku. Masih terdengar aneh ya? Okey, akan ku catat di agenda ku, hari Sabtu tanggal 23 Mei dan aku beri tanda ♥ Elliott, my favorite cockroach catcher.

Tiga hari sudah kuhabiskan mencari Elliott-ku di google, yang sekarang haya tersisa 32 orang lagi yang kemungkinan adalah si hoodie abu-abu berkamera dan walkie talkie-ku. Tiga hari kuhabiskan dengan melihat nama-nama Elliott yang 70% adalah bule. Elliott-ku kan orang indonesia, cuma namanya aja yang kebule-bulean, tapi kenapa namanya Elliott ya?hmmm..nama yang unik.. Okey, kulihat lagi satu persatu

 - Elliot Vankovich (pasti bule rusia yang tinggal di Indo, deh)
 - Mohammed Elliot Yassin (sounds like a terrorist, huh?)
 - Jonash Elliot (mungkin ini dia!! sayangnya mukanya kenapa bule?! -___- )
 - Elliott Hwang Huyhn (100% yakin pasti orang korea yg tinggal di Indo deh)
 - Michael Elliot Van Der Bundchen (Wowww! kaya nama penjajah belanda)
 dan berikutnya dilanjuti dengan Elliott bla bla bla, bla bla Elliott blablaba, yang uung-ujungnya bukanlah Elliott-ku

Sampailah aku melihat satu nama terakhir yaitu Julius Elliott, aku pun menyilangan telunjuk dan jari tengahku, semoga ini adalah Elliott-ku. Dan ternyata...... Bukan.


Senin,  25 Mei. Sebuah Coffee Shop.

Hari ini  adalah hari pertamaku bekerja sebagai Fashion Editor di majalah Wanita. Hari yang cukup menegangkan untuk mengenal orang-orang baru disini. Namun, aku belum berkeliling gedung ini, aku baru hanya menjelajahi lantai 19 yang merupakan ruangan HRD dan lantai 23 yang merupakan lantai khusus untuk redaksi majalah Wanita. Sebelum aku pulang, aku memilih untuk membeli secangkir green tea latte di coffee shop yang letaknya di basement gedung kantor itu. Nyaman sekali disana, karena tidak seperti di coffee shop lainnya yang antriannya meliuk-liuk. Aku ambil pesananku dan kemudian melangkah keluar coffee shop itu. Green tea latte adalah temanku sore hari itu di busway.


"Val?" panggil seseorang di belakangku. Aku pun menoleh ke belakang dan betapa terkejutnya aku melihat seorang pria berdiri dengan kacamata dan tersenyum lebar.
"Elliott?", &^)(*&^%$#@#$^&*(&%$#, aku tidak dapat menggambarkan ekspresiku saat itu, pasti terlihat aneh, sangat aneh.
"Hehh. Ekspresi lo persis kayak waktu itu tragedi kecoa itu deh." Dia pun mengacak-acak kepalaku.

Aku pun membalas dengan tersenyum. Aku pun enggan pulang, pikirku, busway bisa menungguku. Tapi kesempatan kedua untuk bertemu dengan Elliot si kacamata? Tak bisa menunggu.

Obrolan kami pun menjadi sangat seru. Mulai dari film Forrest Gump yang sama-sama kami suka, fashion, Nikon vs Canon, homoseksual, band-band britpop, insect phobia yang kuderita sampai kacamata. Aku pun mengaku sejak pertama kali aku bertemu dengannya, kacamatanyalah yang menarik perhatianku. El pun tertawa dan membiarkanku memakai kacamatanya di sepanjang perjalanan pulang. El dan aku berhenti di sebuah groceries, aku melihat ke dalam rak-rak buah. Kenapa di toko ini semua pisangnya tidak berwarna kuning?

"Knp val? oooh pisang itu. Kalo disini, pisangnya warnanya ijo val, soalnya pisang yang warnanya kuning cepet busuknya."

Aku pun masih terdiam karena baru saja mengetahui hal yang belum pernah aku ketahui sebelumnya. Bahwa pisang kuning itu lebih cepat busuk.

El, si cockroach catcher favoritku membawaku ke seberang jalan dan aku pun tersadar, kembali pada tanggal 23 Mei, El menghilangkan phobia terbesarku. El menghilangkan rasa takutku pada kecoa yang sebenarnya bagi sebagian orang itu bukanlah hal yang penting. Tapi El tidak ingin aku memiliki phobia itu, El memusnahkan semua binatang menjijikan yang paling kutakutkan itu pada saat itu.

Ku buka daftar hal-hal yang paling menakutkan bagiku. Disana tertera COCKROACH pada urutan nomor satu..

                    Valerie's Biggest Fear 
        1. COCKROACH
        2. Thunder
        3. Storm
        4. Frog
        5. Sleep with no blanket
Kucoret lah urutan nomor satu itu,
  1. COCKROACH  ----> defeated by my favorite cockroach catcher, El  ♥

Terima kasih Elliott-ku, Muhammad Elliott Smith.
(Sebuah nama yang diambil dari nama penyanyi favorit orang tuanya)


Love,
Valerie Anastasha

---
Ternyata kanvas itu mulai berwarna kembali, mungkin ceria, mungin juga penuh tawa.
Terima kasih untuk si kacamata yang berhasil membuatku melihat dari segala perspektif yang berbeda.
Lucunya, dengan kacamata itu, pisang tak lagi berwarna kuning.


Terima kasih juga kepada kawat pada behel itu, yang mengajariku kembali cara untuk tertawa dan tersenyum bukan dengan gigi namun dengan hati


Terima kasih juga kepada sepatu converse lusuh, yang tak hanya mengajariku berjalan atau berlari bahkan mengajariku melompat dan terbang